Taiko – Ikrar pernikahan Hideyoshi dan Nene

Baru beberapa hari yang lalu beres baca novel “Taiko” (setelah 6 bulan nyoba namatin, et causa bukunya super tebel, koas, plus serius bacanya juga musiman, haha). Sebuah novel true story sepanjang masa paling keren yang pernah saya kenal. Kenapa? Pertama, Eiji Yoshikawa (sang penulis novel ini) lahir tahun 1892, membuat novel Taiko tahun 1932, dan meninggal tahun 1962. Bayangkan, karya yang telah lahir sejak lama ini dan bahkan penulisnya pun sudah di alam lain hingga saat ini masih laris dan dibaca oleh banyak orang. Kedua, mas Salim cerita ke saya bahwa novel ini juga terjual sangat laris di Jepang. Saking larisnya, total pembelian novel Taiko di Jepang lebih banyak 3 kali lipat dari jumlah penduduk Jepang sendiri. Dahsyat!

Taiko

Jadi, novel ini bercerita tentang kisah peperangan pada abad 16 di Jepang (sekitar 2 abad sebelum restorasi meiji). Pada masa tersebut, Jepang dikuasai oleh seorang Kaisar – seharusnya, namun pada kenyataannya keberadaannya hanya sekedar menjadi simbol. Negeri Jepang pada saat itu benar-benar ditentukan arah geraknya oleh pertempuran antar marga. Ada 3 panglima tertinggi pada saat itu yang sangat dikenang oleh orang Jepang hingga yang keberpengaruhannya berefek secara nyata, yaitu: 1) Nobunaga Oda yang ekstrem, penuh karisma, namun brutal. 2) Ieyasu Tokugawa yang tenang, berhati-hati, bijaksana, berani di medan perang, dan dewasa. 3) Namun kunci dari tiga serangkai ini adalah HIdeyoshi Toyotomi, si kurus berwajah monyet yang secara tak terduga menjadi juru selamat bagi negeri Jepang yang porak-poranda.

Singkat cerita, ada sepotong kisah dari novel ini yang cukup berkesan di hati saya, yaitu saat Hideyoshi berdiskusi dengan Nene – istrinya yang baru saja dinikahinya saat itu. Pada saat itu Hideyoshi masih dikenal dengan nama Tokichiro. Begini ceritanya.

*****

Tokichiro duduk, dan berkata, “Nene, mendekatlah.”

“Ba..Baik.”

“Pernah ada yang mengatakan bahwa istri yang baru dinikahi serupa dengan tempat penyimpanan beras. Kalau tidak dipakai untuk waktu lama, kedua-duanya berbau apak dan tak bisa digunakan lagi. Kalau sudah tua, simpai-simpainya cenderung copot. Tapi ada baiknya mengingat bahwa seorang suami adalah seorang suami. Kita berencana untuk hidup lama bersama-sama, dan telah berjanji untuk saling setia sampai kita berdua sudah tua dan ubanan, tapi hidup takkan mudah. Jadi, mumpung kita baru mulai, sebaiknya kita saling berikrar. Bagaimana menurutmu?”

“Tentu. Aku akan taat sepenuhnya pada ikrar ini, bagaimanapun bunyinya,” Nene menjawab tegas.

Tokichiro tampak serius sekali. Ia bahkan kelihatan agak cemberut. Namun Nene justru gembira melihat ekspresi ini untuk pertama kali.

“Pertama-tama, sebagai suami, aku akan memberitahumu apa yang kuharapkan dari seorang istri.”

“Baik.”

“Ibuku perempuan petani miskin dan menolak menghadiri pernikahan kita. Tapi orang yang paling berbahagia di dunia karena aku mengambil istri adalah ibuku.”

“Aku mengerti.”

“Cepat atau lambat, dia akan tinggal serumah denganmu, tapi aku tidak keberatan kalau kau menomorduakan urusan melayani suami. Lebih dari apapun, aku ingin kau menyayangi ibuku dan membuatnya bahagia”.

“Baik.”

“Ibuku lahir dari keluarga samurai, tapi lama sebelum aku lahir, dia sudah hidup miskin. Dia membesarkan beberapa anak di tengah kemiskinan. Membesarkan satu anak saja dalam keadaan seperti itu berarti bergelut dengan penderitaan. Ibuku tak punya apapun untuk membuatnya bahagia – kimono katun untuk musim dingin dan panas pun tak dimilikinya. Dia tidak berpendidikan, dia bicara dalam logat udik, dan dia sama sekali tidak tahu tata krama. Sebagai istriku, bersediakah kau mengurus ibuku dengan cinta kasih sejati? Apakah kau bisa menghormati dan menghargainya?”

“Tentu. Kebahagiaan ibumu adalah kebahagiaanmu juga. Kurasa itu sudah sewajarnya.”

“Tapi kau juga memiliki orang tua yang sehat. Merekapun sangat penting bagiku. Kasih sayangku terhadap mereka tak kalah dengan kasih sayangmu.”

“Ucapanmu membuat hatiku gembira.” Ucap Nene.

“Lalu masih ada satu lagi,” Tokichiro melanjutkan. “Ayahmu telah mendidikmu menjadi perempuan yang berbakti, dan mengajarkan disiplin dengan menegakkan banyak peraturan. Tapi aku tidak menuntut banyak. Hanya ada satu hal yang kuminta darimu.”

“Apa itu?”

“Kuminta kau bahagia dengan pengabdian suamimu, dengan pekerjaannya, dan segala sesuatu yang harus dilakukannya. Hanya itu. Kedengarannya mudah, bukan? Tapi pasti sama sekali tidak mudah. Perhatikanlah suami-istri yang telah bertahun-tahun hidup bersama. Ada istri-istri yang sama sekali tidak tahu-menahu mengenai pekerjaan suami masing-masing. Suami-suami seperti ini kehilangan dorongan penting, dan laki-laki yang bekerja demi kepentingan bangsa dan provinsi pun menjadi kecil dan lemah jika dia berada di rumah. Kalau saja istrinya bahagia dan tertarik pada pekerjaan suaminya, pada pagi hari laki-laki itu bisa maju ke medan tempur dengan segenap keberanian yang dimilikinya. Bagiku, inilah cara terbaik seorang istri membantu suaminya.”

“Aku mengerti.”

“Baiklah. Sekarang coba ungkapkan apa saja yang kauharapkan dariku. Katakanlah dan aku akan berjanji.”

Walaupun diminta angkat bicara, Nene tak sanggup mengatakan apa-apa. Ia hanya diam seribu bahasa.

“Apapun yang diinginkan seorang istri dari suaminya. Jika kau tak mau menceritakan keinginanmu, bagaimana kalau aku saja yang menguraikannya?” Nene tersenyum dan menanggapi ucapan Tokichiro dengan anggukan kepala. Kemudia ia cepat-cepat menunduk.

“Cinta seorang suami?”

“Bukan.”

“Kalau begitu, cinta yang tidak berubah?”

“Ya.”

“Melahirkan anak sehat?”

Nene gemetar. Seandainya ada lampu, Tokichiro akan melihat bahwa wajahnya merah padam

*****

Meskipun ada beberapa situasi dalam kisah tersebut yang mungkin agak aneh dan kurang tepat jika dibandingkan dengan hidup kita di Indonesia pada saat ini, secara keseluruhan, saya suka dengan dialog ini, sarat dengan nilai:

  1. Dalam novel ini, proses nikahnya Hideyoshi cukup syar’I menurut saya, ngislam banget. Ga ada yang namanya pacaran, langsung temuin orang tua, bilang siap untuk nikahin anaknya. Ketika kata sepakat telah tercapai, no need to wait so long. Dalam waktu segera melangsungkan pernikahan. Makanya, proses taaruf banyak dilakukan Hideyoshi ketika telah berumah tangga dengan Nene.
  2. Hal yang sangat penting dalam fase-fase awal menciptakan rumah tangga yang produktif dan harmonis adalah kesepakatan dalam visi rumah tangga. Dan itulah yang dilakukan Hideyoshi. Agar terhindar dari hal-hal yang mengecewakan, mereka membuat ikrar terlebih dahulu. Saling menyepekati, bahkan sang istri pun juga berhak untuk ambil bagian dalam ikrar ini, meskipun dalam kisah tersebut Nene agak malu-malu mengutarakan.
  3. Yang saya suka dari cara Hideyoshi menempatkan diri sebagai anak adalah, dia menganggap bahwa dirinya tetap milik ibunya meskipun dia telah mempunyai keluarga sendiri. Dan ini mirip dengan hakikat seorang laki-laki yang telah berumah tangga di dalam Islam. Sedangkan wanita, sepenuhnya milik sang suami
  4. Bahwa pernikahan bukan hanya menyatunya dua individu akan tetapi juga dua keluarga. Makanya Hideyoshi mengajukan permintaan ini kepada Nene, yaitu untuk menjaga serta mengasihsayangi ibunya. Mirip banget Hideyoshi sama rencana hidup saya, bahkan mungkin saya lebih ekstrem. Saya akan meminta istri untuk mengasihsayangi ibu, kakak, serta adik saya. Situasinya cukup panjang kalo diceritakan, tapi kira-kira begitulah rencananya *eh, kok malah jadi curcol?
  5. In my point of view, suami adalah tokoh/duta rumah tangga. Yang menjadi garda terdepan dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Prestasi-prestasi besar rumah tangga sangat ditentukan oleh sang Ayah. Meskipun, saat sekarang peran wanita di eksternal sudah jauh lebih signifikan dibanding zaman dulu, tetep, gue ga mau kalah sama istri, hahaa #egois. Sedangkan istri bertugas untuk menjaga apa-apa yang ada di dalam rumah tangga, terutama anak. Kalo diibaratkan, suami itu adalah attackers, sedangkan istri defenders. Meskipun begitu, Hideyoshi cerdik dalam menanggapi situasi ini. Dia meminta Nene untuk memahami semua hal yang dia kerjakan, agar apa yang menjadi dari bagian hidup Hideyoshi di luar rumah, tak luput dari sang istri, serta meneguhkan suami ketika pulang ke rumah. So sweeeet 🙂

Segitu dulu mungkin, nilai yang kebayang dan ingin saya tuliskan tentang bagian ini dari novel Taiko. Mungkin ada kisah lain menarik yang bisa dishare dari Taiko. Ga bisa janji, tapi kalo ada, insyaAllah akan saya tulis di waktu yang lain. Sekian ^O^

Categories: From what I read | 2 Comments

Post navigation

2 thoughts on “Taiko – Ikrar pernikahan Hideyoshi dan Nene

  1. Sari Puspa Dewi

    Nice thought. Jadi kapan akan mengirimkan undangan walimahan-nya?

    • Huaa, saya baru bongkar2 lagi dashboard wordpress saya dan baru nemu komen dokter ttg tulisan ini. Hahaa, ga tau nih dok, insyaAllah pada waktu yang tepat deh, hehe. Mohon doanya aja dok, smg rencana masa depan saya dimudahkan selalu oleh Allah SWT 🙂

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.